Apakah Laut itu Benar-Benar Biru?
Ketika ditanya tentang apakah warna dari lautan, kebanyakan orang pasti akan menjawab dengan biru. Tapi apakah laut itu benar-benar biru dan apakah anggapan biru tiap orang itu sama? Dan apa juga yang menimbulkan warna biru pada lautan? Melalui artikel ini, kita akan lebih mengetahuinya.
Apakah ini warna laut yang kamu bayangkan? (Kredit: Michael Cory) |
Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa laut itu biru, tapi beberapa orang lain mungkin mengatakan yang lain. Ada orang yang menggambarkannya sebagai biru gelap polos (navi), ada yang biru kehijauan, ada juga yang biru keunguan, dan sebagainya. Sedangkan pengalaman nyata menunjukkan bahwa warna laut dan lautan dapat berubah sesuai dengan waktu dan tempatnya, mulai dari hijau keputihan, biru navi, cokelat, abu-abu gelap, dan lain-lain. Anggapan kita dengan gaya pikir yang terpaku pada laut itu biru nampaknya telah salah. Jadi kenapa laut dapat memiliki berbagai variasi warna? Jawabnya dapat karena dua faktor yaitu fisika dan biologi.
Prinsip Warna Pelangi
Melihat air murni, tentu warnanya sudah jelas yaitu bening tak berwarna. Namun apa yang terjadi jika cukup dalam sedalam lautan sehingga cahaya tidak dapat mencerminkan/memantulkan dasar laut? Hasilnya menjadi tampak berwarna biru gelap. Hal ini terutama karena beberapa faktor fisika dasar.
Mata manusia mengandung sel-sel yang mampu mendeteksi radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara sekitar 380-700 nanometer. Dalam jangka tersebut, panjang gelombang berbeda sesuai dengan warna-warna yang berbeda seperti yang kita lihat pada pelangi.
Molekul air lebih baik dalam menyerap cahaya yang datang di panjang gelombang yang lebih panjang, yang berarti merah, oranye, kuning, dan hijau. Itu sering meninggalkan warna biru, yang memiliki panjang gelombang yang lebih pendek. Karena cahaya biru cenderung lebih sedikit diserap dan dapat menembus ke kedalaman yang lebih dalam, itu membuat air yang dalam terlihat lebih biru. Cahaya pada panjang gelombang yang pendek juga lebih mungkin tersebar atau terpantul ke arah yang berbeda, termasuk kembali keluar dari air menuju mata kita, membuat laut tampak biru.
Namun, kemurnian air laut bervariasi. Partikel yang mengendap di dalamnya dapat meningkatkan hamburan cahaya. Pasir dan lumpur yang dibawa ke laut dari sungai atau yang terangkat dari dasar laut oleh ombak dan badai dapat mempengaruhi warna perairan pesisir. Selain itu detritus organik seperti bagian tanaman yang membusuk, diketahui oleh para ilmuwan sebagai bahan organik pelarut warna yang dapat juga mempersulit penggambaran warna dengan menambahkan warna hijau, kuning dan coklat.
Itulah beberapa faktor fisika. Namun, yang tidak kalah penting adalah faktor biologi, karena penyebab terbesar pada warna laut dibuat oleh organisme kecil yang disebut fitoplankton.
Fitoplankton berukuran biasanya lebih kecil daripada kepala peniti, alga bersel tunggal ini menggunakan pigmen klorofil hijau untuk menangkap energi dari matahari untuk mengubah air dan karbon dioksida menjadi senyawa organik yang membentuk tubuh mereka. Melalui fotosintesis ini, mereka diperkirakan bertanggung jawab dalam menghasilkan sekitar setengah dari oksigen yang kita hirup.
Secara krusial, fitoplankton menyerap radiasi elektromagnetik di bagian merah dan biru dari spektrum cahaya yang tampak, tetapi memantulkan warna hijau yang menjelaskan mengapa laut di mana mereka berkembang tampak lebih hijau.
Fitoplankton
Para ilmuwan telah memantau warna laut dari satelit sejak tahun 1978. Studi ini telah menghasilkan gambar yang menggugah, termasuk tentakel raksasa biru dan hijau yang menari di pusaran sekitar satu sama lain.
Fitoplankton mengubah warna laut (Kredit: NOAA) |
Seindah-indahnya mereka, gambar-gambar tersebut memiliki tujuan yang lebih besar, itu dapat digunakan untuk memantau polusi dan fitoplankton. Fitoplankton dapat berkembang biak sangat cepat dalam menanggapi perubahan di lingkungan mereka, seperti perubahan suhu dan perubahan mendadak pada tingkat gizi. Para ilmuwan telah menunjukkan bahwa populasi mereka dapat menjadi dua kali lipat dalam satu hari.
Karena tempat mereka di dasar jaring/rantai makanan laut, mereka dapat memiliki dampak penting di seluruh ekosistem. Mereka adalah sumber makanan utama bagi zooplankton, hewan kecil seperti copepoda, krill dan ubur-ubur. Pada gilirannya zooplankton dimakan oleh ikan, yang dimakan oleh hewan lain, mulai dari kerang dan anemon hingga hiu dan paus.
Perubahan pada populasi dan persebaran fitoplankton, dan tingkat pertumbuhan atau penurunan mereka, juga dapat memberikan para ilmuwan informasi terhadap peringatan awal perubahan lingkungan. Semakin banyak fitoplankton yang mengambang di lautan, karbon dioksida yang tersedot dari atmosfer juga lebih banyak. Karbon dioksida adalah gas utama rumah kaca, semakin banyak yang diubah menjadi bahan organik yang tenggelam ke dasar laut setelah fitoplankton mati, semakin rendah suhu rata-rata masa depan.
“Karena fitoplankton mengambil karbon dioksida dan memberikan oksigen, mereka memainkan peran penting dalam siklus karbon global,” kata Venetia Stuart, koordinator ilmiah di Grup Internasional Koordinasi Warna Lautan. “Siklus karbon dapat menentukan konsentrasi karbon dioksida di masa mendatang, sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk membantu model perubahan iklim.”
Perubahan warna laut juga bisa menandakan terjadinya fenomena mematikan yang dikenal sebagai arus pasang merah, atau ledakan ganggang berbahaya. Beberapa spesies fitoplankton menghasilkan racun yang dapat membunuh ikan, burung dan mamalia dan menyebabkan penyakit pada manusia. Dalam konsentrasi yang tinggi mereka dapat membentuk apa yang disebut dengan arus pasang merah, meski tidak selalu merah. Mereka juga tidak ada hubungnnya dengan gerakan air, maka oleh karena itu para ilmuwan lebih suka istilah ganggang berbahaya atau dalam bahasa inggris disebut dengan – Harmful Algal Blooms (HABs).
Karena tempat mereka di dasar jaring/rantai makanan laut, mereka dapat memiliki dampak penting di seluruh ekosistem. Mereka adalah sumber makanan utama bagi zooplankton, hewan kecil seperti copepoda, krill dan ubur-ubur. Pada gilirannya zooplankton dimakan oleh ikan, yang dimakan oleh hewan lain, mulai dari kerang dan anemon hingga hiu dan paus.
Perubahan pada populasi dan persebaran fitoplankton, dan tingkat pertumbuhan atau penurunan mereka, juga dapat memberikan para ilmuwan informasi terhadap peringatan awal perubahan lingkungan. Semakin banyak fitoplankton yang mengambang di lautan, karbon dioksida yang tersedot dari atmosfer juga lebih banyak. Karbon dioksida adalah gas utama rumah kaca, semakin banyak yang diubah menjadi bahan organik yang tenggelam ke dasar laut setelah fitoplankton mati, semakin rendah suhu rata-rata masa depan.
“Karena fitoplankton mengambil karbon dioksida dan memberikan oksigen, mereka memainkan peran penting dalam siklus karbon global,” kata Venetia Stuart, koordinator ilmiah di Grup Internasional Koordinasi Warna Lautan. “Siklus karbon dapat menentukan konsentrasi karbon dioksida di masa mendatang, sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk membantu model perubahan iklim.”
Perubahan warna laut juga bisa menandakan terjadinya fenomena mematikan yang dikenal sebagai arus pasang merah, atau ledakan ganggang berbahaya. Beberapa spesies fitoplankton menghasilkan racun yang dapat membunuh ikan, burung dan mamalia dan menyebabkan penyakit pada manusia. Dalam konsentrasi yang tinggi mereka dapat membentuk apa yang disebut dengan arus pasang merah, meski tidak selalu merah. Mereka juga tidak ada hubungnnya dengan gerakan air, maka oleh karena itu para ilmuwan lebih suka istilah ganggang berbahaya atau dalam bahasa inggris disebut dengan – Harmful Algal Blooms (HABs).
Merasakan Laut
Apakah anda tahu bagaimana ilmuwan mensurvei perubahan warna lautan dan samudra? Teknik utamanya adalah dengan menggunakan satelit yang membawa instrumen yang mengukur intensitas cahaya tampak yang datang dari air.
Kebanyakan sinar Matahari tersebar di perjalanan ke permukaan laut dengan partikel di udara. Apa yang tersisa adalah baik itu yang terserap atau tersebar di dalam air. Tapi sekitar 10 persen tersebar kembali keluar dari air dan menuju ke atmosfer, dan berpotensi ke arah satelit yang mengukur proporsi dalam spektrum hijau atau biru. Algoritma komputer kemudian menggunakan data ini untuk memperkirakan berapa banyak klorofil dalam air di bawah.
Survei ini dimulai pada tahun 1978 dengan percobaan misi pemindaian warna zona pesisir oleh NASA. Pada tahun 1997, NASA meluncurkan sensor SeaWiFS (Sea-Viewing Wide Field of View) di satelit lain, yang meningkatkan kualitas pemantauan warna laut. Sejak itu European Space Agency (ESA), India dan Korea Selatan juga meluncurkan sensor sendiri.
Sebuah sensor generasi baru, seperti yang dijadwalkan akan diluncurkan pada satelit Sentinel-3 milik ESA, itu akan memungkinkan para peneliti untuk mengamatik cahaya yang memantul kembali keluar dari laut secara lebih rinci, dan bahkan tempat berbagai jenis plankton, menurut David Antoine, kepala penelitian satelit di Curtin University di Perth, Australia.
Sebagai contoh, para ilmuwan perlu bekerja keras tentang bagaimana menemukan grup fitoplankton yang disebut coccolithophores dan diatom. “Hal ini jelas lebih berguna untuk dapat membedakan antara jenis fitoplankton yang berbeda, karena masing-masing dari mereka memainkan peran fungsional yang berbeda di dalam ekosistem,” kata Stuart.
Gurun Laut
Mensurvei warna lautan dan samudra juga telah membuat hasil yang signifikan. Tahun lalu, peneliti AS menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan bagaimana tingkat klorofil di lautan telah berubah di seluruh dunia antara tahun 1998 dan 2012. Tidak ada tren secara keseluruhan. Tapi perubahan warna yang ditangkap oleh satelit menunjukkan tingkat klorofil menurun di beberapa lautan di belahan bumi utara, dan meningkat di beberapa cekungan laut di belahan bumi selatan.
Hal tersebut telah menyebabkan beberap peristiwa bahwa zona laut dengan tingkat klorofil rendah khususnya (kadang-kadang dikenal sebagai “gurun laut”) menjadi lebih luas sebagai akibat dari meningkatnya suhu air laut. “Daerah-daerah gurun laut di belahan bumi utara yang semakin besar, itu merupakan sebuah kekhawatiran,” kata Stuart. “Ini telah diverifikasi dengan data dari sensor lain, jadi pasti ada sesuatu yang terjadi.”
Lainnya percaya bahwa tidak cukup data yang telah dikumpulkan untuk membuktikan pemanasan global mempengaruhi tingkat fitoplankton di laut, yang mungkin secara alami merupakan variasi siklus 15 tahun atau lebih.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa para ilmuwan perlu memonitor warna laut dan samudera selama lebih dari 40 tahun untuk menentukan apakah perubahan iklim memiliki dampak pada fitoplankton. Dan itu bisa berarti menunggu sampai tahun 2038 untuk mendapatkan hasil berdasarkan survei berkualitas tinggi yang memakan waktu tersebut.
Lalu setelah itu kita akan benar-benar tahu apakah warna lautan telah berubah, dan menuju pada tingkat apa. Serta mengambil kesimpulan apakah manusia yang memberikan dampak pada banyaknya fitoplankton yang ada, dengan mempengaruhi siklus karbon global.
Diperbarui pada 30 Januari 2017.
- Nic Fleming. (2015). Is the Sea Really Blue?. Diaskes dari http://www.bbc.com/earth/story/201505226-is-the-sea-really-blue pada Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik dan bijak, menghormati satu sama lain. Terima kasih.